MIKROBA PENGENDALI HAYATI

PEMANFAATAN MIKROBA SEBAGAI PENGENDALIAN HAYATI YANG RAMAH LINGKUNGAN

OLEH :

WIJIYONO / 077030026

PENDAHULUAN

Pengendalian hayati yang ramah lingkungan merupakan suatu bidang kegiatan usaha yang tidak akan lepas dari kehidupan manusia dan alam, sebab secara hirarkhi di ekosistem beberapa komponen kehidupan membentuk mata rantai yang saling mempengaruhi, terputusnya salah satu mata rantai tersebut akan mengakibatkan atau berpengaruh terhadap kelangsungan makhluk hidup yang lain sehingga harus dilestarikan.

Dengan melihat gejala perilaku manusia sebagai komponen yang paling aktif mengadakan eksplorasi, pembudidayaan, perubahan, pengguna (konsumsi) dan lain-lain untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup yang semakin meningkat telah menimbulkan gejala yang mengarah pada kerusakan lingkungan , banyaknya penyakit tanaman yang tekah resisten,pecemaran .

Ironisnya penggunaan bahan kimia dan bahan an-organik lainya yang sulit dirombak dan sekaligus merupakan bahan pencemar itu merupakan hasil karya para ahli yang mengharapkan dapat menjawab tantangan kebutuhan hidup masyarakat, misalnya untuk meningkatkan hasil suatu produk pertanian dalam proses budidaya tanaman menggunakan pestisida untuk pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT), pupuk anorganik yang mudah didapat dan mudah aplikasinya sebagai penyedia unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Hasil yang diperoleh memang bagus, baik kualitas maupun kuantitasnya, tetapi jika kita teliti lebih detail, ternyata dibalik keherhasilan tersebut terdapat suatu kerugian yang tidak kalah besarnya, yaitu adanya pencemaran lingkungan dan produk pertanian, pemutusan mata rantai kehidupan dan efek-efek negatif lainnya yang akan sangat terasa bila sudah berjalan beberapa waktu lamanya.

Efek residu dari penggunaan pestisida antara lain dapat mencemari tanah disertai matinya beberapa organisme perombak tanah, mematikan serangga dan binatang lain yang mungkin sebenarnya binatang tersebut dapat bermanfaat bagi kita sehingga terputusnya rantai makanan bagi hewan pemakan serangga hama. Dari hal ter sebut yang tidak kalah menariknya untuk kita renungkan adalah bahan aktif pestisida yang tertinggal pada tanaman yang akan dikonsurnsi dapat meracuni kita dan akan terakumulasi di dalam tubuh, justru terbalik, bahkan akan menjadikan bumerang bagi kita. Saat ini untuk pemenuhan kebutuhan pangan dari sektor pertanian mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan lingkungan.

Salah satu teknologi pertanian yang berwawasan lingkungan yang sudah kita dengar adalah Pertanian Organik. Pertanian Organik merupakan suatu tekhnologi budidaya tanaman yang pada penerapannya disesuaikan dengan keadaan lingkungan, agar tidak terjadi perubahan ekosistem secara drastis sehingga tidak menggangu dan memutuskan mata rantai makhluk hidup. maka tidak heran banyak gejala penyakit yang salah satu penyebabnya adalah bahan kimia .

Potensi mikroba sebagai pengendali hayati hama, penyakit dan gulma tanaman budidaya.

Pengendalian hayati dalam bidang hama dan penyakit tanaman sudah dirintis sejak lama. Beberapa aspek yang terkait dalam pengendalian sistim terpadu seperti penggunaan agen predator, antagonist, parasit, patogen, virus, pemakaian materi organik, penggunaan tanaman unggul, pembentukan tanaman resisten, imunisasi dengan penggunaan pathogen yang tidak ganas (hyphovirulent), penggunaan bahan kimia selektif, penggunaan senyawa sida bahan alam, pengaturan kondisi fisik seperti pengaturan pH, penanaman bergilir (rotasi) dan pengeringan (Koul et al., 2000; Chen et al., 2000; Raizada et al., 2001).

Dalam kaitan dengan pengendalian OPT, aspek yang perlu disimak secara seksama adalah peran mikroba sebagai penghasil ”senyawa penghubung” (infochemicals) dalam mengatur pertumbuhan populasi dan musuh alami. Konsep ini kemudian juga berkembang menjadi konsep three-trophic-level yang mengatur populasi musuh alami. Semiokimia adalah suatu senyawa yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian serangga hama dalam lingkungan PHT. semiokimia dikelompokkan lagi menjadi feromon dan alelokimia. Alelokimia dikelompokkan lagi menjadi alomon, kairomon, dan sinomon, antibiotika

.
Dampak alelokimia pada ekodinamika tumbuhan dengan serangga
Alomon : menolak makan, -menolak menelan, -menghambat reproduksi, menghambat ganti kulit, -menghambat enzim protease, menghambat enzim respirasi, -Kairomon : menarik musuh alami, -Sinomon : saling menarik, -Feromon : mengacaukan perkawinan.
(Weller 1988).

· Serangga sebagai agen pengendali alami. Serangga dapat diinfeksi oleh organisme penyebab penyakit seperti bakteri, kapang, virus, mikrosporidia dan nematoda. Pada kondisi tertentu patogen yang telah ada secara alami di dalam tubuh serangga akan mengakibatkan ledakan penyakit yang dapat membunuh sebagian besar populasi serangga .

· Beberapa mikroba digunakan sebagai insektisida mikroba, biorasional atau bio insekta.

· Sebagai pengendali hama serangga. Contohnya Kapang cordycepps untuk mengendalikan penyakit muscardine pada ulat sutera.Beauveria bassiana pengendali hama serangga. Metarrhizium anisopliae sebagai pengendali hama.

· Bakteri patogen sebagai pengendali serangga yaitu pembentuk spora contohnya Baccilus. Jenis bakteri pembentuk spora tanpa toksin di antaranya B. Popilliaae dan B. Larvae.

· Sebagai pengatur poulasi serangga. Contohnya fungsi imperfecti mengandung paling banyak marga kapang entomotogen, sedangkan entophtorales .

· Peranan psudomonas fluorescens dalam pengendalian biologi.

Bakteri dilaporkan bisa menekan pertumbuhan patogen dalam tanah secara alamiah, beberapa genus yang banyak mendapat perhatian yaitu Agrobacterium, Bacillus, danPseudomonas.Pseudomonas merupakan salah satu genus dari Famili Pseudomonadaceae. Bakteri ini berbentuk batang lurus atau lengkung, ukuran tiap sel bakteri 0.5-0.1 1μm x 1.5- 4.0 μm, tidak membentuk spora dan bereaksi negatif terhadap pewarnaan Gram. Pseudomonas terbagi atas grup, diantaranya adalah sub-grup berpendarfluor (Fluorescent) yang dapat mengeluarkan pigmen phenazine (Brock & Madigan 1988). Kebolehan menghasilkan pigmen phenazine juga dijumpai pada kelompok tak berpendarfluor yang disebut sebagai spesies Pseudomonas multivorans. Sehubungan itu maka ada empat spesies dalam kelompok Fluorescent yaitu Pseudomonas aeruginosa, P. fluorescent, P. putida, dan P. multivorans (Stanier et al 1965). (Hebbar et al. 1992; Weller 1983).

Diseluruh dunia perhatian kepada golongan bakteri Pseudomonas sp. ini dimulai dari penelitian yang dilakukan di University of California, Barkeley pada tahun 70-an. Burr et al (1978) dan Kloepper et al (1980) mengatakan bahwa strain P.fluorescens dan P. putida yang diaplikasikan pada umbi kentang telah menggalakkan pertumbuhan umbi kentang. Schroroth dan Hancock (1982) mengatakan bahwa pseudomonad pendarfluor meningkatkan hasil panen umbi kentang 5-33%, gula beet 4-8 ton/ha. dan menambah berat akar tumbuhan radish 60-144%. Strain ini dan strain-strain yang sama dengannya disebut sebagai rizobakteri perangsang per tumbuhan tanaman (Plant Growth-Promoting Rhizobacteria, PGPR). Sebutan sebagai rizobakteri pada bakteri Pseudomonas spp. sehubungan dengan kemampuannya mengkoloni disekitar akar dengan cepat (Schroroth & Hancock 1982). Kloepper dan Schroth (1978) mengatakan bahwa kemampuan PGPR sebagai agen pengendalian hayati adalah karena kemampuannya bersaing untuk mendapatkan zat makanan, atau karena hasil-hasil metabolit seperti siderofor, hidrogen sianida, antibiotik, atau enzim ekstraselluler yang bersifat antagonis melawan patogen (Kloepper & Schroth. 1978; Thomashow & Weller 1988; Weller 1988). Wei et al. (1991) mengatakan bahwa perlakuan benih timun menggunakan strain PGPR menyebabkan ketahanan sistemik terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan Colletotrichum arbiculare. Alstrorn (1991) menyebutkan aplikasi P.fluorescens strain S97 pada benih kacang telah menimbulkan ketahanan terhadap serangan penyakit hawar disebabkan P. syringe pv. phaseolicola. Maurhofer et al. (1994) mengatakan P. fluorescens strain CHAO menyebabkan ketahanan pada tumbuhan tembakau terhadap serangan virus nekrotik tembakau. Baru-baru ini telah dibutikan bahwa Pseudomonas spp. dapat menstimulir timbulnya ketahanan tanaman terhadap infeksi jamur patogen akar, bakteri dan virus (Van Peer et al 1991; Wei et al. 1994; Zhou et al. 1992; Alstrom 1991). Leeman et al. (1995) menyatakan bahwa ekstrak lipopolisakarida (LPSs) dari membran luar P.fluorescens WCS417 menyebabkan ketahanan sistemik terhadap infeksi Fusarium oxysporom f.sp. dianthi pada tumbuhan bunga carnation. Voisard et al (1989) mendapati bahwa sianida yang dihasilkan P. fluorescens stroin CHAO merangsang pembentukan akar rambut pada tumbuhan tembakau dan menekan pertumbuhan Thielaviopsis basicola penyebab penyakit busuk akar, diduga bahwa sianida mungkin penyebab timbulnya ketahanan sistemik (ISR). Maurhofer et al (1994) mengatakan bahwa siderofor pyoverdine dari P. fluorescens strain CHAO adalah sebab timbulnya ketahanan sistemik pada tumbuhan tembakau terhadap infeksi virus nekrosis tembakau.

Perlakuan bakteri pada benih tumbuhan lobak dan umbi kentang menggunakan P. fluorescens strain WCS374 menunjukkan pengaruh pertumbuhan yang nyata (Geels & Schippers 1983). Sedangkan P. putida strain WCS374 telah meningkatkan pertumbuhan akar dan produksi umbi kentang (Baker et al 1987; Geels & Schippers 1983). Leemon et al. (1995) mengatakan bahwa siderofor dari P. fluoresces WCS374dapat berperan sebagai perangsang pertumbuhan tumbuhan dan menekan pertumbuhan F. oxysporo n f sp. raphani penyebab penyakit layu Fusarium pada tumbuhan lobak. Hambatan terhadap penyakit layu Fusarium pada tumbuhan carnation diduga disebabkan persaingan terhadap unsur besi (Duijff 1993). Wei et al. (1991) mengatakan bahwa ketahanan sistemik akan terjadi pada timun terhadap infeksi Colletotrichum orbiculare setelah inokulasi benih timun dengan strain PGPR Alstrom (1991) mengatakan bahwa perlakuan benih kacang dengan P. fluorescens strain S97 menyebabkan ketahanan sistemik terhadap infeksi Pseudomonas syringae pv. phaseolicola. Zhou et al. (1992) dan Zhou dan Paulitz (1994) mengntakan bahwa strain Pseudomonas spp. menyebabkan ketahanansistemik tumbuhan timun terhadap Pythium aphanidetmatum. Contoh-contoh PGPR yang mampu berperan sebagai agen penyebab ketahanan sistemik tersebut di atas adalah karena perlakuan akar, tanah, atau biji dengan rizobakteri.Mekanisme kerja dari agen pengendalian hayati umumnya digolongkan sebagai persaingan zat makanan, parasitisme, dan antibiosis (Fravel 1988; Weller 1988).

Peranan antibiotik dalam pengendalian hayati telah dikaji oleh Siminoff dan Gottlieb (1951). Penelitian mereka menunjukkan bahwa kemampuan Streptomyces griseus pengeluar antibiotik streptomisin dan strain mutasi yang tidak menghasilkan antibiotik dalam menekan pertumbuhan Bacillus subtilis temyata tidak berbeda tingkat antagonisnya, penelitian ini telah membuat Siminoff dan Gottlieb (1951) berkesimpulan bahwa antibiotik bukan satu-satunya penyebab timbulnya antagonis. Kemajuan dalam rekayasa genetik telah membolehkan penelitian terhadap mutan dijalankan dengan lebih akurat dan terperinci sehingga banyak hipotesis tentang antibiotik telah dibuktikan, misalnya Pseudomonas fluorescens adalah agen pengendalian hayati penyakit take-all pada gandum yang disebabkan Gaeumannomyces graminis var. tritici. Bakteri ini terbukti menghasilkan antibiotik phenazin yang menekan pertumbuhan G. graminis dalam pengendalian hayati (Thornashow & Weller 1987; Thomashow et al. 1986; Weller et al. 1985).

· Bakteri sebagai agen pengendali anti biotik

Antibiotik umumnya adalah senyawa organik dengan berat molekul rendah yang dikeluarkan oleh mikroorganisrne. Pada kadar rendah, antibiotik dapat merusak pertumbuhan atau aktivitas metabolit mikroorganisme lain (Fravel 1988). Rose (1979) mengatakan bahwa pada tahun 1979 diperkirakan telah dikenal 3000 jenis antibiotik dengan penambahan 50-100 jenis antibiotik baru setiap tahunnya. Hubungan antara akitivitas pengendalian hayati antibiotik secara in vivo dengan aktifitas secara in vitro. Keluaran antibiotik chetomin secara in vitro oleh Chaetomium globosum berkorelasi positif dengan antagonisnya terhadap Venturia inequalis pada bibit pohon apel (Cullen & Andrews 1984). Hal yang sama adalah adanya zon hambatan Agrobacterium radiobacter terhadap A. tumefaciens secara in vitro dan kemampuannya sebagai agen pengendalian hayati di lapang pada tanaman persik. Satu penelitian yang dilakukan oleh Broadbent et al. (1971) telah rnenguji secara in vitro 3500 mikroorganisme sebagai agen antagonis, dari penelitian ini diperkirakan 40% mikroorganisme menekan pertumbuhan satu atau lebih patogen dan 4% diantaranya berpotensi sebagai agen pengendalian hayati di tanah. Broadbent et al (1971) berkesimpulan bahwa organisme yang menekan pertumbuhan secara in vitro juga akan menekan pertumbuhan patogen di tanah, mikroorganisme yang tidak menekan pertumbuhan secara in vitro juga tidak menekan pertumbuhan dalam tanah. Namun perlu diketahui bahwa pengeluaran antibiotik sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan nutrisi mikroorganisme. Filtrasi medium pembiakan bebas sel atau ekstrak dari filtrasi telah diuji kemungkinan peranannya sebagai antibiosis dalam pengendalian hayati. Filtrasi bebas sel T. flavus efektif terhadap mikrosklerotium V. dahliae pada tanah steril (Fravel et al 1987). Filtrasi dari medium pertumbuhan mutan T. harzianum menekan pertumbuhan patogen busuk basah S. cepivorum (Papavizas et al. 1982). Manakala filtrasi steril dari kultur Bacillus subtilis diaplikasikan tiga kali seminggu mengendalikan penyakit karat pada tanaman kacang dilapangan nyata lebih baik dari fungisida mancozeb dengan aplikasi satu kali seminggu (Baker et al. 1985).

Baru-baru ini satu penelitian tentang peranan antibiotik di dalam tanah menunjukkan bahwa kebanyakan hasil metabolit seperti antibiotik terikat pada tanah liat dan bahan organik tanah, atau terurai dengan cepat oleh mikroflora. Kebanyakan antibiotik tidak dapat terlepas dari tanah liat (Pinck et.al.1962). Howell dan Stipanovic (1979) telah mengidentifikasi antibiotik pyrrolnitrin (3-chloro- 4-[2 '-nitro-3 '-chloro-phenyl]-pyrrole) dari kultur P. fluorescens. Pada penetiannya, antibiotik ini sangat efektif menekan pertumbuhan Rhizoctonia solani, patogen penyebab penyakit rebah kecambah pada anak tanaman kapas. Antibiotik ini juga menekan pertumbuhan jamur lain yang berinteraksi dengan penyakit rebah kecambah diantaranya Thielaviopsis basicola, Alternaria sp., Vertiicillium dahliae, dan beberapa jenis Fusarium, bagaimanapun dikatakan bahwa antibiotik ini tidak berpengaruh terhadap Pythium ultimum. Selanjutnya Howell dan Stipanovic (1979) mengatakan bahwa perlakuan bakteri P. fluorescens pada tanah yang terkontaminasi R. solani telah menambah ketahanan anak tanaman kapas terhadap patogen tersebut 30-79 persen, sedangkan perlakuan antibiotik pyrrolnitrin menambah ketahanan 13-70 persen. Ini berarti bakteri P. fluorescens berpotensi sebagai agen pengendalian hayati penyakit tumbuhan.

Howell dan Stipanovic (1980) telah mengidentifikasi P. fluorecens strain Pf-5 yang antagonis terhadap Pythium ultimum. Dari kultur P. fluorescens Pf-5 diisolasi antibiotik pyolutcorin (4,5-dichloro-1 H-pyrrol-2-yl-2,6-dihydrokxy-phenyl ketone). Antibiotik ini menekan pertumbuhan P. ultimum tapi tidak berpengaruh terhadap R. solani. Perlakuan benih kapas langsung dengan kultur bakteri P. fluorerscens Pf-5 telah menambah ketahanan benih terhadap serangan P.ultimum 28-71 persen, sedangkan perlakuan benih dengan antibiotik pyoluteorin meningkatkan ketahanan benih 33-65 persen. Kedua percobaan di atas menunjukkan bahwa penggunaanlangsung kultur bakteri P. fluorescen lebih efektif mengendalikan penyakit dibandingkan penggunaan antibiotiknya.

· Mikroba sebagai agen penghasil siderofor

Siderofor adalah senyawa organik selain antibiotik yang dapat berperan dalam pengendalian hayati penyakit tumbuhan. Siderofor diproduksi secara ekstrasel, senyawa dengan berat molekul rendah dengan affinitas yang sangat kuat terhadap besi (III). Kemampuan siderofor mengikat besi (III) merupakan pesaing terhadap mikroorganisme lain, banyak bukti-bukti yang menyatakan bahwa siderofor berperan aktif dalam menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen .

Selain peranannya sebagai agen pengangkutan besi (III), siderofor juga aktif sebagai faktor pertumbuhan, dan beberapa diantaranya berpotensi sebagai antibiotik (Neilands 1981). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa siderofor berpendarfluor kuning-kehijauan yang dihasilkan oleh pseudomonad pendarfluor disebut sebagai pseudobactin bermanfaat untuk pertumbuhan tanaman (Neilands & Leong 1986; Leong 1986).

Pigmen pendarfluor hijau-kekuningan larut dalam air, dikeluarkan oleh kebanyakan spesies Pseudomonas. Diantara spesies yang banyak diteliti sehubungan dengan pigmen ini adalah P. airuginosa, P. ovalis, P. mildenbergil, P. reptilivora, P. geniculata, P. calciprecipitans. Pengenalan terhadap pigmen ini tidak susah, terutama jika bakteri dikulturkan pada medium King's B (KB). Ciri-ciri sebagai pengeluar pigmen ini masih digunakan sebagai penanda taksonomi untuk identifikasi bakteri ini yang disebut sebagai bakteri Pseudomonas pendarfluor (Meyer et al. 1987). Pseudobaktin akan dihasilkan Pseudononas B 10 jika dikulturkan pada medium stress besi. Penelitian menunjukkan bahwa pseudobactin hijau-kekuningan efektif menekan pertumbuhan E. carotovora, manakala pseudobactin merah-kecoklatan tidak menekan pertumbuhan E. carotovora.

Menurut Kloepper et al. (1980) secara in vitro, pseudobactin menekan pertumbuhan karena pengikatan besi (III). Perlakuan tumbuhan umbi kentang dengan suspensi sel bekteri strain B 10 clan pseudoboktin menunjukkan pertambahan pertumbuhan yang berarti. Populasi jamur patogen parlesekitar akar juga menjadi berkurang karena perlakuan bakteri strain B 10 (2.3 unit pembentukan koloni (cfu) per 10 cm akar; atou berkurang 59 persen) dan dengan pcrlakuan pseudobaktin (1.4 cfu per 10 cm akar; atau berkurang 74 persen) berbanding perlakuan dengan air (5.5 cfu per 10 cm akar), sedangkan perlakuan bakteri mutan takberpendarfluor yang tidak menghasilkan siderofor tidak menekan pertumbuhan E. carotovora dan tidak pula menyebabkan pertambahan pertumbuhan pada umbi kentang walaupun bakteri mengkoloni akar tumbuhan (Kloepper et al. 1980).

Hasil di atas menunjukkan bahwa pseudomonad pendarfluor berperan dalam mempercepat pertumbuhan karena siderofor yang dihasilkannya efisien mengikat besi (III) pada zon akar, menyebabkan besi (III) tidak tersedia bagi mikroorganisme rhizoplane termasuk mikroorganisme patogen tumbuhan (Leong 1986). Menurut Neilands dan Leong (1986) mungkin semua pseudomonad pendarfluor dapat menghasilkan siderofor sejenis pseudobaktin yang masing-masing berbeda dalam hal jumlah dan susunan asam amino dalam rantai peptide. Pseudomonas pendarfluor banyak diteliti sehubungan dengan kemampuan bakteri ini sebagai perangsang pertumbuhan (Plant Growth Promoting Rhizobacteria=PGPR) dan menekan serangan penyakit yang disebabkan Fusarium oxysporum dan penyakit akar yang disebabkan Gaeumannomyces graminis. Mekanisme kerja PGPR diketahui sebagai senyawa yang berfungsi sebagai pemasok zat makanan, bersifat antibiosis, atau sebagai hormon pertumbuhan, atau penggabungan dari berbagai cara tersebut. Pseudomonad pendarfluor yang diisolasi dari tanah yang secara alami menekan pertumbuhan Fusarium juga menekan pertumbuhan Gaeumannomyces graminis var.tritici penyebab penyakit take-all (Wong & Baker 1984), penelitiannya membuktikan bahwa tidak hubungan antara hambatan antibiosis yang dihasilkan bakteri secara in vitro di atas agar dan hambatannya terhadap penyakit pada tanaman di dalam polibag. Menurut Wong dan Baker (1984) hasil ini menunjukkan bahwa mekanisme pengendalian patogen karena persaingan zat besi. Menurut Neilands dan Leong (1986) jamur-jamur patogen tidak menunjukkan kemampuan menghasilkan siderofor jenis yang sama dengan yang dihasilkan bakteri Pseudomonas spp. sehingga jamur patogen mengalami defisit unsur besi menyebabkan pertumbuhan patogen menjadi terhambat.

Kelebihan dan kelemahan penggunaa mikroba pengendali hayati dibandingkan dengan penggunaan bahan kimia.

Pengendalian hama telah banyak dilakukan dengan berbagai cara, yaitu pergiliran tanaman , secara mekanis dengan melakukan penangkapan terhadap kumbangnya, pengambilan telur ataupun uret secara langsung pada saat pembukaan tanah dan pembumbunan dapat mengurangi populasi di lapang lebih kurang lima persen, serta dengan cara kimiawi menggunakan insektisida berformulasi granuler yang ditaburkan sebelum tanam. Pengendalian dengan cara tersebut di atas kurang efektif karena membutuhkan banyak tenaga, waktu dan biaya, selain itu penggunaan bahan kimia untuk pengendalian dapat menyebabkan erosi saat musim hujan dan bahaya keracunan, sehingga perlu adanya alternatif pengendalian dengan memperhatikan kelestarian dalam kesehatan lingkungan.

Senyawa kimia sintetik sampai saat ini selalu diandalkan untuk mengendalikan serangga hama tumbuhan di Indonesia. Pengaruh penggunaan insektisida sintetik yang tidak berjadual serta kurang tepat akan banyak menimbulkan dampak negatif yang sangat merugikan, antara lain: ketahanan serangga hama (resistensi), peledakan serangga hama sekunder (resurjensi), matinya musuh alami, mencemari air minum, merusak lingkungan dan membahayakan manusia. Dengan semakin meningkatnya kesadaran manusia akan kualitas lingkungan hidup yang tinggi, maka pengendalian serangga hama yang bertumpu pada penggunaan pestisida harus ditekan sekecil-kecilnya atau tidak sama sekali, karena akan menimbulkan masalah-masalah yang negatif. Dengan banyaknya dampak negatif pemakaian pestisida serta pembatasan pemakaian insektisida sintetik tertentu sebagai pengendali serangga hama maka peluang pengendalian hayati akan sangatlah besar.

a) Kelebihan/kebaikan Agens Hayati, antara lain :

· Selektifitasnya tinggi dan tidak dapat menimbulkan ledakan hama baru dan resurgensi hama.

· Faktor pengendali (agens) yang digunakan tersedia di lapang.

· Agens hayati (parasitoid dan predator) dapat mencari sendiri inang atau mangsanya.

· Agens hayati (parasitoid dan predator, patogen) dapat berkembang biak dan menyebar.

· Tidak menimbulkan resistensi terhadap serangga inang/mangsa ataupun kalau terjadi, sangat lambat.

· Pengendalian ini dapat berjalan dengan sendirinya karena sifat agens hayati tersebut.

· Tidak ada pengaruh samping yang buruk seperti pada penggunaan pestisida

· Pengendalian hayati relatif murah.

b) Kekurangan/kelemahan Agens Hayati, antara lain :

· Pengendalian terhadap OPT berjalan lambat.

· Hasilnya tidak dapat diramalkan

· Sukar untuk pengembangan dan penggunaannya.

· Dalam pelaksanaannya pengendalian hayati memerlukan pengawasan pakar dalam bidangnya.

· Dalam mengembangkan pengendalian hayati harus selalu dikawal/dimonitor.

Prinsip-prinsip dasar pengendalian hayati dengan menggunakan mikroba pengendali hayati untuk melindungi tanaman budidaya.

Agens hayati mencakup pengertian mahluk hidup yang dimanfaatkan sebagai agens pengendali OPT. Pengendalian hayati adalah penggunaan musuh alami serangga hama, penyakit dan tumbuhan pengganggu untuk mengurangi, kepadatan populasi (Mangundihardjo, 1975). Pengendalian hayati adalah pengaturan populasi hama dengan menggunakan musuh alami. Sasaran pengendalian hayati adalah melepaskan musuh alami atau manipulasi keberadaannya yang mengakibatkan fluktuasi populasi hama di bawah aras luka (Pedigo, 1999).

Oka (1998) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengendalian hayati adalah mengendalikan hama tanaman dengan cara biologi yaitu memanfaatkan musuh-musuhnya, disebut musuh-musuh alam atau disebut juga agensia pengendali biologi. Pengendalian secara biologis adalah kerja dari faktor biotis seperti parasitoid, predator dan patogen terhadap mangsa atau inang, sehingga menghasilkan suatu keseimbangan umum yang lebih rendah daripada keadaan yang ditunjukkan apabila faktor tersebut tidak ada atau tidak bekerja (Stern et al., 1959).

Difinisi pengendalian hayati secara ekologi adalah pengaturan populasi organisme dengan musuh alami hingga kepadatan populasi organisme berada di bawah rata-rata dibandingkan bila tanpa pengendalian Pengendalian hayati merupakan salah satu pengendalian yang dinilai cukup aman dan berwawasan lingkungan karena mempunyai beberapa keuntungan yaitu : 1) selektivitas tinggi dan tidak menimbulkan hama baru, 2) organisme yang digunakan sudah tersedia di alam, 3) organisme yang digunakan aktif mencari dan menemukan inangnya, 4) musuh alami dapat berkembang biak dan menyebar, 5) hama tidak menjadi resisten atau kalau terjadi sangat lambat, dan 6) pengendalian berjalan dengan sendirinya (Van Driesche and Bellows, Jr., 2001).

Pengendalian hayati dalam pengertian ekologi didefinisikan sebagai pengaturan populasi organisme dengan musuh-musuh alam hingga kepadatan populasi organisme tersebut berada di bawah rata-ratanya dibandingkan bila tanpa pengendalian (De Bach, 1979, dalam Oka, 1998).

Pengendalian hayati menggunakan atau memanfaatkan spesies-spesies mahluk hidup tertentu untuk mengendalikan hama-hama tanaman. Spesies-spesies tersebut mewakili sejumlah hewan invertebrata, seperti serangga, tungau dan nematoda, spesies-spesies tumbuhan golongan rendah seperti cendawan, bakteri dan virus serta mewakili golongan vertebrata seperti ular, burung, kodok dan ikan. Pemanfaatan ini dimungkinkan karena adanya interaksi antara dua spesies mahluk hidup atas keuntungan yang satu karena memangsa atau memarasit dan lainnya dirugikan karena dimakan atau diparasit. Musuh alami merupakan salah satu komponen dalam PHT. Masalah yang dihadapi adalah usaha untuk melindungi, mengembangkan serta meningkatkan efisiensi dan aktivitas musuh alami sehingga peranannya semakin nyata. Penggunaan pestisida dapat menurunkan populasi musuh alami, oleh sebab itu mengurangi penggunaan pestisida dapat membantu melindungi musuh alami.

PENUTUP

Pengendalian hayati yang ramah lingkungan merupakan suatu bidang kegiatan usaha yang tidak akan lepas dari kehidupan manusia dan alam, sebab secara hirarkhi di ekosistem . Dalam kaitan dengan pengendalian OPT, aspek yang perlu disimak secara seksama adalah peran mikroba sebagai penghasil ”senyawa penghubung” (infochemicals) dalam mengatur pertumbuhan populasi dan musuh alami. Konsep ini kemudian juga berkembang menjadi konsep three-trophic-level yang mengatur populasi musuh alami. Semiokimia adalah suatu senyawa yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian serangga hama dalam lingkungan PHT. semiokimia dikelompokkan lagi menjadi feromon dan alelokimia. Alelokimia dikelompokkan lagi menjadi alomon, kairomon, dan sinomon, antibiotika

pengendalian hayati secara ekologi adalah pengaturan populasi organisme dengan musuh alami hingga kepadatan populasi organisme berada di bawah rata-rata dibandingkan bila tanpa pengendalian Pengendalian hayati merupakan salah satu pengendalian yang dinilai cukup aman dan berwawasan lingkungan karena mempunyai beberapa keuntungan yaitu : 1) selektivitas tinggi dan tidak menimbulkan hama baru, 2) organisme yang digunakan sudah tersedia di alam, 3) organisme yang digunakan aktif mencari dan menemukan inangnya, 4) musuh alami dapat berkembang biak dan menyebar, 5) hama tidak menjadi resisten atau kalau terjadi sangat lambat, dan 6) pengendalian berjalan dengan sendirinya

Pengaruh penggunaan insektisida sintetik yang tidak berjadual serta kurang tepat akan banyak menimbulkan dampak negatif yang sangat merugikan, antara lain: ketahanan serangga hama (resistensi), peledakan serangga hama sekunder (resurjensi), matinya musuh alami, mencemari air minum, merusak lingkungan dan membahayakan manusia. Dengan semakin meningkatnya kesadaran manusia akan kualitas lingkungan hidup yang tinggi, maka pengendalian serangga hama yang bertumpu pada penggunaan pestisida harus ditekan sekecil-kecilnya atau tidak sama sekali, karena akan menimbulkan masalah-masalah yang negatif. Dengan banyaknya dampak negatif pemakaian pestisida serta pembatasan pemakaian insektisida sintetik tertentu sebagai pengendali serangga hama maka peluang pengendalian hayati akan sangatlah besar.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Influence of apigenin and tt- fernasol to Streptococcus mutans( terjemahan)

Perjalananku di Dua negara